Serapan Tenaga Kerja AS Melesat, Apa Dampaknya bagi Rupiah?
Dalam berita terbaru, Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) telah mengumumkan bahwa pertumbuhan nonfarm payroll (NFP) atau tingkat ketenagakerjaan di luar sektor pertanian, mencapai angka yang mengejutkan: 254.000 pada bulan September 2024. Ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan 12 bulan terakhir yang hanya sekitar 203.000. Bisa dibilang, pencapaian ini melampaui ekspektasi ekonom yang sebelumnya memperkirakan hanya sekitar 140.000— sebagaimana dilaporkan oleh Reuters. Selain itu, angka ini menandakan pertumbuhan terkuat sejak Maret 2024.
Pertumbuhan NFP pada September 2024 didorong oleh beberapa sektor, terutama jasa makanan dan tempat minum, kesehatan, pemerintah, bantuan sosial, serta konstruksi. Dengan pertumbuhan yang pesat ini, tingkat pengangguran bulan lalu bahkan berhasil turun hingga 4,1%. Angka ini lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya dari survei Reuters dan juga realisasi Agustus 2024 yang ada di angka 4,2%.
Secara menarik, BLS merevisi kenaikan NFP untuk bulan Juli 2024 menjadi 144.000 (+61,8%) dan bulan Agustus 2024 menjadi 159.000 (+12%), keduanya meningkat 72.000 dari laporan sebelumnya.
Respon Pasar terhadap Angka Ketenagakerjaan
Kemudian, bagaimana pasar merespons rilis data tersebut? Ternyata, ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed mulai berkurang. Sebelumnya diperkirakan akan ada pemangkasan hingga 75 bps (target rate: 4-4,25%), namun kini menjadi 50 bps (target rate: 4,25-4,5%) pada Senin (7/10), menurut analisis dari CME FedWatch Tool.
Indeks Dolar AS (DXY) menunjukkan penguatan sebesar 0,52% ke level 102,5, sementara yield Treasury AS tenor 10 tahun juga naik 20 bps ke level 4%. Reaksi positif juga terlihat di pasar saham AS, di mana S&P 500, Dow Jones, dan Nasdaq masing-masing ditutup menguat 0,9%, 0,76%, dan 1,22% pada Jumat (4/10) waktu setempat. Hal ini seiring meredanya kekhawatiran akan terjadinya hard-landing.
Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia
Bagi kita di Indonesia, perkembangan ini membawa sentimen negatif terhadap nilai tukar Rupiah dan obligasi pemerintah. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS mengalami pelemahan sebesar -1,26% menjadi 15.680 pada perdagangan hari ini (7/10). Sementara itu, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga meningkat menjadi 6,73% (+8 bps).
Dengan pemangkasan suku bunga yang cenderung lebih sedikit oleh The Fed, ini berpotensi untuk mempersempit ruang bagi Bank Indonesia (BI) dalam memotong suku bunga lebih lanjut. Berdasarkan konsensus dari Bloomberg per 7 Oktober 2024, BI diperkirakan masih akan memotong suku bunga minimal 25 bps hingga akhir tahun 2024, dan setidaknya 2 kali masing-masing 25 bps pada tahun 2025.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, perkembangan positif yang terjadi di pasar tenaga kerja AS ini membawa dampak langsung yang cukup signifikan bagi ekonomi global, termasuk Indonesia. Dengan penurunan angka pengangguran dan pertumbuhan NFP yang jauh melampaui ekspektasi, investor seharusnya memikirkan strategi mereka ke depan. Apakah ekonomi Indonesia akan mampu bertahan dalam guncangan ini? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.